Apa Makna Defisit Neraca Perdagangan NTT Sebesar Rp51,5 Triliun terhadap PDB Rp137,3 Triliun (≈ 37,5%)?

Defisit neraca perdagangan berarti nilai barang dan jasa yang dibeli (impor) dari luar NTT lebih besar daripada yang dijual (ekspor) ke luar NTT. Artinya, uang dari NTT keluar lebih banyak daripada yang masuk ke NTT.
Interpretasi Kritis dalam Bahasa Sederhana:
“Orang NTT bekerja keras, menghasilkan uang, tapi uang itu langsung dibelanjakan untuk produk dari luar. Jadi, meski ekonomi bergerak, yang kaya bukan NTT, melainkan daerah lain yang jadi tempat asal barang dan jasa itu.”
Kesimpulan: “Semua usaha masyarakat NTT justru memperkaya daerah lain”!
Alasan Mengapa Kesimpulan Itu Benar secara Ekonomis?
No. 1 Uang Mengalir Keluar Secara Masif
Setiap kali masyarakat NTT membeli barang-barang dari luar (misalnya makanan kemasan dan pakaian dari Pulau Jawa, beras dari Sulsel, dll), uang mereka tidak berputar di NTT, tetapi mengalir ke tempat asal barang-barang itu.
No. 2 Ketergantungan pada Produk Luar
Defisit besar berarti NTT belum memiliki industri lokal yang memproduksi barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri, sehingga pengeluaran konsumsi masyarakat justru menjadi pemasukan bagi daerah lain.
No. 3 Pemudik dari Luar NTT Bisa Kirim Uang ke Daerah Asal
Bila banyak tenaga kerja dari luar NTT bekerja di sini, sebagian gaji dan hasil usaha mereka dikirimkan (remitansi) ke daerah asal mereka, menguras likuiditas lokal dan memperkaya ekonomi kampung halaman mereka.
No. 4 Tidak Ada Efek Pengganda (Multiplier) Lokal
Dalam teori ekonomi regional, jika uang tidak berputar secara lokal, maka multiplier effect-nya kecil. Roda ekonomi bergerak, tapi efeknya kecil terhadap kesejahteraan masyarakat lokal NTT.
Mengapa Hal Ini Terjadi? (Akar Masalahnya)
No. 1 Kelemahan di Sisi Produksi Lokal (Supply-Side Weaknesses)
Banyak kebutuhan masyarakat belum diproduksi secara efisien dan kompetitif di NTT, sehingga pilihan utamanya adalah mengimpor dari daerah lain, walaupun harganya lebih mahal.
No. 2 Distribusi Logistik Masih Dikuasai Luar Daerah
Jalur distribusi barang (transportasi, agen, distributor) sering kali dikuasai oleh pihak dari luar NTT, jadi margin keuntungan juga keluar dari NTT.
No. 3 Tidak Ada Strategi Industrialisasi Daerah
Belum ada peta jalan industrialisasi daerah berbasis komoditas unggulan lokal, misalnya olahan hasil laut, ternak, pertanian lahan kering, garam, tenun ikat, dan pariwisata berbasis desa.
No. 4 Kebijakan Belanja Pemerintah Belum Berbasis Produk Lokal
Belanja barang dan jasa pemerintah juga sering menggunakan barang dari luar NTT karena ketersediaan lokal terbatas, sehingga uang APBD pun kembali mengalir ke luar.
Kesimpulan Kritis dalam Bahasa Orang Awam:
“Bayangkan kita (orang lokal NTT) seharian bekerja keras (memanen di sawah atau kebun, beternak, atau berdagang di pasar, atau bekerja di kantor), tetapi begitu dapat uang dari hasil usaha atau gaji, kita belanja barang dari luar: sabun, baju, peralatan rumah tangga, dll dari Pulau Jawa, beras dari Sulsel. Uangnya pergi jauh. Kita (orang lokal NTT) capek, tapi yang kaya justru orang di luar NTT sana, yaitu di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Itulah realita pahit kalau kita (orang lokal NTT) tergantung pada produk luar NTT. Kita (orang lokal NTT) bekerja keras, tapi mereka nun jauh di sana (Orang di Luar NTT) yang menikmati hasilnya.”
“Kalau kita ini (orang lokal NTT), Pegawai Negeri atau masyarakat biasa, pinjam uang di Bank NTT atau bank lain, lalu kita pakai uang itu beli motor, mobil, kulkas, TV, dan barang elektronik lainnya, semuanya datang dari pabrik di Pulau Jawa. Jadi gaji kita (orang lokal NTT) tiap bulan sebenarnya bukan memperkaya ekonomi NTT, tapi memperkaya pabrik dan perusahaan besar di Pulau Jawa sana.”
“Setiap kali kita (orang lokal NTT) sedang mencicil motor, bayar TV, atau beli baju dari toko, sebenarnya kita sedang kirim uang ke luar NTT. Jadi walaupun kita bekerja siang malam di kantor atau ladang, uangnya malah lari jauh keluar.”
“Karena barang-barang itu datang dari luar pulau (terutama Pulau Jawa), ongkos kirimnya juga mahal. Container yang datang bawa barang dari Surabaya ke Kupang misalnya, waktu pulangnya sering kosong karena kita di NTT tidak ekspor banyak. Akhirnya biaya transportasi jadi dua kali lipat, dan harga barang ikut naik dua kali lipat.”
“Itu sebabnya sabun, odol, TV, kulkas, motor, semua jadi lebih mahal di NTT sini daripada di Pulau Jawa. Ongkos kirim ditanggung sendiri oleh masyarakat NTT di sini. Jadi walaupun kita (orang lokal NTT) punya uang, kita bayar lebih mahal untuk barang yang sama. Siapa yang untung? Bukan kita (orang lokal NTT). Tapi orang-orang dan perusahaan besar di luar sana (Pulau Jawa) yang beruntung besar.”
Kesimpulan Kritis Versi Bahasa Kupang (dengan nada guyon tapi serius)
- “Kitong di sini sa kerja keras – gali kebun, potong rumput, jaga toko, jaga kantor – tapi begitu dapa gaji, kitong langsung pigi belanja sabun, baju, motor, kulkas, dari Jawa. Ehh uang sa lari pi luar sana!”
- “Beta pung tangan kerja di NTT, tapi beta pung uang malah tinggal di Surabaya. Mereka yang di sana su tidur nyenyak, beta yang di sini masih gigit jari!”
- “Ko pikir ko cicil motor tiap bulan, ko senang? Itu motor dari pabrik Jawa e, jadi tiap ko bayar cicilan, itu bukan bantu ekonomi NTT, tapi bantu dong bikin pabrik di Jawa tambah besar!”
- “Kitong ambil kredit di Bank NTT, tapi yang senang justru PT di Jawa. Gaji kitong hanya lewat NTT, habis itu putar balik ke luar lagi.”
- “Ko bayang, kontainer dari Surabaya bawa barang sampe Kupang, eh pas balik kosong. Jadi mereka kasih kita harga dua kali lipat. Biasa bilang, ‘mama… mahal ooo!’ Tapi tetap beli juga!”
- “Itu sabun satu batang di Jawa cuma lima ribu, sampe sini bisa jadi sepuluh ribu. Kulkas di Jakarta murah, sampe NTT naik harga kaya harga emas. Ko pikir itu salah sapa? Salah sistem transportasi e, bukan salah mama penjual di pasar!”
- “Jadi sebenarnya kitong di sini kerja mati-matian, tapi dong yang makan enak di Jawa sana. Kitong bakar kulit di kebun, tapi yang kenyang dong di luar pulau di Jawa!”
“Kalau terus bagini, kitong ini bukan jadi tuan di tanah sendiri, tapi jadi kuli ekonomi orang lain. Sudah saatnya kitong pikir ulang, belanja produk lokal, kas hidup ekonomi NTT dong!”
Sumber : Provinsi Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2025 – Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur