Maksen Lifu Tegaskan Ketahanan Pangan Kuimasi Wujud Nyata Kemandirian Berbasis Komoditas Cabai

Di tengah wajah alam yang kerontang dan tanah yang lama bergumul dengan musim kemarau, Desa Kuimasi, kecamatan Fatuleu, perlahan menulis ulang takdirnya. Dalam ruang kerjanya Kepala Desa Kuimasi, Maksen Lifu menyampaikan satu pesan penting: kemandirian pangan bukan mitos, ia sedang tumbuh, dari lahan, dari tangan petani, dari harapan.
Pada Kamis, 16 Oktober 2025, Maksen menjelaskan bahwa program ketahanan pangan desa kini telah memasuki fase akhir persiapan. Hampir 80 persen kesiapan tanam cabai telah tercapai. Lahan dibuka, air telah dialirkan dan benih cabai disemai dengan kesabaran. Yang tersisa hanyalah waktu: sebuah perayaan penanaman yang akan segera menjadi kenyataan.
“Kami tidak menunggu negara memberi makan. Ketahanan pangan adalah tugas moral kita. Dan desa harus berdiri di garis depan,” tegas Maksen, yang dikenal sebagai pemimpin bersahaja, namun berpandangan jauh ke depan. Ketahanan pangan di Kuimasi bukan sekadar proyek tahunan. Ia lahir dari visi jangka panjang tentang kedaulatan desa. Dengan mengalokasikan 20 persen Dana Desa Tahun Anggaran 2025, pemerintahan desa menunjukkan komitmen anggaran yang selaras dengan kebutuhan paling dasar: hak atas pangan, atas hidup yang bermartabat.
Pemilihan cabai sebagai komoditas utama mencerminkan pendekatan yang cerdas dan kontekstual. Cabai bukan hanya bumbu dapur—ia adalah produk yang berdaya jual tinggi, mudah dibudidayakan dan tahan terhadap dinamika iklim. Lebih dari itu, cabai menjadi ikon semangat desa yang ingin pedas dalam keberanian, tapi tetap tumbuh dalam ketekunan. “Kami ingin tanam cabai, tapi yang tumbuh adalah harga diri. Ketahanan pangan bukan tentang kenyang semata, tapi tentang merdeka,” ucap Maksen, seolah menyulam realitas dengan puisi. Program ini juga menjadi bagian dari skema besar transformasi desa. Ketika banyak desa masih bergantung pada distribusi pangan dari luar, Kuimasi mencoba mendobrak paradigma. Melalui partisipasi warga dan pengelolaan yang akuntabel, desa ini membuktikan bahwa ketahanan pangan bisa dicapai tanpa menunggu arahan birokrasi pusat. Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, langkah Kuimasi sangat strategis. Ia tak hanya memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) poin ke-2 tentang “Tanpa Kelaparan”, tetapi juga menguatkan poin ke-12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Dengan mengelola potensi sendiri, desa memperkuat daya tawar terhadap ancaman pasar bebas dan fluktuasi harga bahan pokok. Masyarakat kini menanti momen penanaman sebagai simbol dimulainya fase baru: dari konsumsi menuju produksi, dari ketergantungan menuju kemandirian. Lahan yang terbuka itu bukan hanya ladang fisik, tapi juga metafora tentang pikiran yang terbuka terhadap perubahan. Cabai yang akan ditanam bukan sekadar hasil panen, tapi juga investasi sosial jangka panjang. Kuimasi mengajarkan bahwa pembangunan bukan soal anggaran besar, tetapi tentang ketulusan visi dan keberanian eksekusi. Dalam sunyi tanah Timor yang keras dan sabar, desa ini menanam benih yang lebih dari sekadar pangan: ia menanam kemungkinan. Dan jika seluruh proses berjalan sesuai harapan, cabai dari Kuimasi kelak bukan hanya membumbui dapur, tapi juga membumbui percakapan nasional tentang arti kedaulatan desa.