Mimpi NTT Mandiri Benih dari Desa Noelbaki
(KOMPAS) – Hamparan padi jenis ciherang membentang di Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Padi yang ditanam di sawah dengan luas sekitar 3,5 hektar itu sebentar lagi akan dipanen. Namun, gabah hasil panenan itu bukan untuk dikonsumsi, melainkan menjadi benih untuk ditanam lagi di sawah.
Tanaman padi tersebut memang bukan milik petani, melainkan dikelola oleh Balai Benih Induk Padi Noelbaki, instansi di bawah Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada Rabu (8/5/2024), Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT Joaz Umbu Wanda datang ke Desa Noelbaki untuk memeriksa kondisi tanaman padi di sana. ”Senin (13/5/2024) depan kita akan panen,” katanya.
Menurut Joaz, umur tanaman padi itu sudah menembus 100 hari sehingga siap dipanen. Hal ini karena padi idealnya dipanen saat berusia 110-115 hari. Untuk persiapan panen, aliran air yang masuk ke sawah sudah dihentikan. Aneka peralatan, termasuk tempat penjemuran padi, sudah disiapkan. Tenaga kerja untuk panen pun sudah dihubungi.
Joaz memaparkan, setiap hektar padi di lahan itu diperkirakan menghasilkan 3,5 ton gabah kering panen (GKP). Produktivitas sawah penghasil benih itu memang lebih rendah dibandingkan dengan sawah di NTT pada umumnya yang bisa menghasilkan 5-6 ton GKP per hektar. Di beberapa provinsi lain, hasil panen bisa mencapai 7 ton GKP per hektar.
Setelah panen selesai, Joaz menambahkan, gabah dari sawah penghasil benih itu akan dijemur. Setelah itu dilakukan proses sertifikasi secara ilmiah di laboratorium untuk mendapatkan benih yang berkualitas.
Indikator utama benih berkualitas adalah kadar air paling tinggi 12 persen dan daya tumbuh mencapai 80 persen. Proses sertifikasi memakan waktu hingga dua bulan sebelum benih-benih tersebut didistribusikan kepada petani.
Koordinator Balai Benih Induk Padi Noelbaki Marsel Manek mengatakan, proses sertifikasi dilakukan secara selektif demi mendapatkan benih berkualitas. Namun, proses itu hanyalah ujung dari proses panjang yang dimulai dari penyiapan lahan.
Menurut Manek, lahan sawah penghasil benih harus diisolasi berdasarkan jarak dan waktu. Jika di dekat lahan itu sedang ditanami padi jenis lain, waktu tanam dibuat berjarak paling cepat 30 hari. Adapun jarak dengan lahan lain paling dekat 3 meter untuk mencegah terjadi percampuran ketika proses penyerbukan berlangsung.
Manek menyebut, proses isolasi bertujuan untuk menjaga kemurnian dari varietas padi yang ditanam. Berdasarkan pengalamannya di Balai Benih Induk Padi Noelbaki, sebanyak 90 persen gabah hasil panen berhasil lolos menjadi benih.
”Sejak balai benih ini berdiri pada tahun 1997, proses produksi benih berjalan dengan lancar,” kata Manek.
Dia menambahkan, benih-benih yang telah siap akan didistrubsikan kepada para petani untuk ditanam di sawah. Di wilayah Noelbaki terdapat ratusan hektar sawah yang sebagian besar menggunakan benih dari balai benih tersebut. Di wilayah itu terdapat dua kali masa tanam padi setahun dengan pengairan dari Bendungan Tilong dan air hujan.
Setiap biji benih padi, kata Manek, dapat menghasilkan satu rumpun yang di dalamnya paling sedikit terdapat 15 batang. Satu batang bisa menghasilkan 2 male. Tiap-tiap male terdapat 30 butir padi. Artinya, dalam satu rumpun terdapat sekitar 900 butir padi.
”Ini menunjukkan betapa satu biji benih itu berlipat ganda. Keberadaan balai benih menjadi salah satu kunci kemajuan sektor pertanian,” kata Manek yang lebih dari 30 tahun berurusan dengan benih.
Mandiri benih
Balai Benih Induk Padi Noelbaki merupakan satu dari beberapa balai benih di NTT. Balai benih padi lainnya ada di wilayah Lembor, Kabupaten Manggarai Barat; Magepanda, Kabupaten Sikka; Mbai, Kabupaten Nagekeo; Ogy, Kabupaten Ngada; Lewa, Kabupaten Sumba Timur, dan Waimanu, Kabupaten Sumba Tengah.
Selain itu, NTT juga memiliki balai benih jagung dan tanaman hortikultura di sejumlah daerah. Balai benih jagung terdapat di Tarus, Kabupaten Kupang; Buisan, Kabupaten Rote Ndao; serta Lembor.
Adapun balai benih tanaman hortikultura ada di Nonbes, Kabupaten Kupang; Oelbubu, Kabupaten Timor Tengah Selatan; Detubapa, Kabupaten Ende; Uya dan Lambanapu di Kabupaten Sumba Timur; serta wilayah Mbai dan Lembor.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT Semuel Keffi mengatakan, ketersediaan benih di NTT masih jauh di bawah kebutuhan. Dari total kebutuhan benih sekitar 300.000 ton per tahun, pasokan yang tersedia hanya sekitar 50.000 ton.
Oleh karena itu, NTT masih harus mendatangkan benih dari wilayah lain. Saat ini, harga benih berkisar Rp 15.000-Rp 20.000 per kilogram.
Semuel menambahkan, balai-balai benih di NTT belum memiliki mesin pengering. Oleh karena itu, pengeringan benih hanya dilakukan dengan mengandalkan sinar matahari yang kadang tidak maksimal ketika musim hujan.
Namun, pengadaan mesin pengering memerlukan anggaran yang cukup besar, yakni hingga Rp 1 miliar. ”Kami sangat berharap bantuan dari Kementerian Pertanian,” kata Semuel.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT Joaz Umbu Wanda berharap suatu saat NTT bisa mandiri mencukupi kebutuhan benihnya. Untuk mewujudkan hal itu, perlu didorong adanya penangkaran benih di setiap sentra pertanian khusus berbasis kepulauan. Pemerintah desa didorong menggunakan dana desa untuk membangun penangkaran benih itu.
Selain itu, pihak swasta juga didorong membangun penangkaran benih dengan tetap memperhatikan kualitas. Sebab, sebelumnya pernah ada pihak tertentu yang terbukti melakukan kecurangan dengan mengoplos benih.
Melihat kondisi hari ini, butuh kerja keras untuk membawa NTT mandiri benih. Namun, tak salah apabila ada mimpi ke arah sana. Mimpi itu bisa dimulai dari Desa Noelbaki.
Sumber : Mimpi NTT Mandiri Benih dari Desa Noelbaki – Kompas.id