Target Swasembada Beras 2026, NTT Fokus Intensifikasi dan Ekstensifikasi Lahan

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menargetkan swasembada beras pada tahun 2026. Swasembada beras itu merupakan bagian dari implementasi program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Program tersebut selaras dengan Dasa Cita Gubernur NTT Melkiades Laka Lena dan Wakil Gubernur Johni Asadoma. Upaya ini difokuskan pada penguatan komoditas strategis, yakni padi dan jagung.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, Joaz Bily Oemboe Wanda menyampaikan ini saat diwawancara victorynews.id usai acara coffe morning Gubernur NTT bersama wartawan, Sabtu, (10/5/2025). Pria yang akrab disapa Umbu itu mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, luas panen padi di NTT mencapai 168.727 hektare dari total potensi luas baku sawah sebesar 176.693 hektare sesuai data ATR/BPN.
“Produksi gabah kering giling tahun ini sebanyak 707.793 ton atau setara 414.576 ton beras. Namun, NTT masih mengalami defisit sebesar 239.224 ton dari kebutuhan beras tahunan yang mencapai 653.800 ton,” ujar Joaz, Sabtu (10/5/2025).
Untuk mengejar ketertinggalan itu, pemerintah menyiapkan sejumlah strategi, salah satunya melalui intensifikasi pertanian. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan indeks pertanaman dari satu kali tanam menjadi dua hingga tiga kali tanam per tahun, didukung oleh perbaikan jaringan irigasi sesuai Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2025.
“Modernisasi pertanian juga menjadi prioritas, termasuk pemanfaatan alat dan mesin pertanian (Alsintan), penyediaan benih unggul bersertifikat, serta pendampingan penyuluh yang intensif kepada para petani,” jelasnya.
Selain itu, langkah ekstensifikasi dilakukan melalui perluasan areal tanam, seperti program cetak sawah rakyat dan pemanfaatan lahan kering serta lahan tumpang sisip di wilayah perkebunan untuk budidaya padi ladang atau padi gogo. Strategi lainnya adalah diversifikasi pangan dengan mendorong budidaya pangan lokal sebagai alternatif sumber karbohidrat, terutama di wilayah kepulauan yang memiliki keterbatasan akses dan logistik.
“Khusus kabupaten kepulauan seperti Alor, Rote Ndao, Sabu Raijua, dan Lembata, kita dorong kemandirian pangan agar tidak bergantung pada pasokan dari daratan dan mampu mengendalikan inflasi saat musim hujan,” tambah Joaz.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan penta helix yang melibatkan unsur TNI, lembaga keagamaan, institusi pendidikan (perguruan tinggi, SMA, dan SMK), serta partisipasi aktif masyarakat. Dengan berbagai intervensi tersebut, Pemerintah Provinsi NTT menargetkan pada tahun 2026 dapat mencapai surplus beras. Luas panen diproyeksikan mencapai 288.890 hektare, dengan produksi gabah kering giling sebesar 1.266.770 ton atau setara 707.806 ton beras.
“Kami optimistis dengan dukungan semua pihak dan ketersediaan sarana-prasarana yang memadai, NTT mampu keluar dari ketergantungan pangan dan menjadi provinsi yang mandiri dalam hal penyediaan beras,” pungkas Joaz.
Dinas PUPR NTT Dukung
Upaya mewujudkan swasembada pangan di Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapat dukungan kuat dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi NTT. Melalui percepatan pembangunan jaringan irigasi dan penyediaan air bersih, Dinas PUPR memainkan peran strategis dalam mengatasi krisis pangan, kemiskinan ekstrem, hingga stunting.
Plt Kepala Dinas PUPR NT, Beny Nahak menyebutkan bahwa pembangunan jaringan irigasi menjadi kunci dalam menjamin ketersediaan air untuk pertanian, yang berdampak langsung pada produktivitas pangan di daerah-daerah rawan pangan.
“Ketahanan pangan itu tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan air. Maka pembangunan irigasi menjadi fokus kami untuk mendukung swasembada pangan di NTT,” ujar Beny kepada wartawan, Sabtu (10/5/2025).
Hingga saat ini, tercatat ada 42 daerah irigasi di NTT. Progres pembangunan irigasi telah mencapai 71 persen. Pembangunan infrastruktur ini dinilai lebih cepat dibanding proyek bendungan yang membutuhkan waktu hingga lima tahun.
“Pembangunan irigasi hanya memakan waktu sekitar satu tahun. Ini jauh lebih efisien dan langsung berdampak pada produktivitas pertanian warga,” ungkapnya.
Menurut Beny, pembangunan irigasi tidak hanya berkontribusi pada sektor pertanian, tetapi juga menjadi solusi jangka panjang dalam mengatasi kemiskinan ekstrem dan stunting di wilayah pedalaman.
Ke depan, pengelolaan irigasi akan diambil alih oleh pemerintah pusat melalui Balai Wilayah Sungai (BWS), sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2025. Namun, Dinas PUPR NTT tetap memiliki peran penting dalam perencanaan teknis dan pengawasan lapangan. Selain irigasi, Beny juga menyoroti pentingnya penyediaan air minum sebagai bagian dari strategi mendukung ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat. Saat ini, capaian pembangunan sistem air minum telah mencapai 88 persen dari target 95 persen.
“Sumber air kita sebenarnya cukup, seperti di Kali Dendeng dan Tilong. Tantangannya adalah pada jaringan distribusi yang masih minim akibat keterbatasan anggaran,” jelas Beny.
Di sisi lain, untuk menunjang konektivitas distribusi hasil pertanian, infrastruktur jalan provinsi sepanjang 2.600 kilometer akan difokuskan pada pemeliharaan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari efisiensi anggaran, namun tetap menjaga aksesibilitas antara sentra produksi dan pasar.
“Pembangunan infrastruktur bukan sekadar proyek fisik, tetapi investasi jangka panjang untuk mewujudkan NTT yang mandiri secara pangan dan bebas dari kemiskinan,” tegas Beny.
Dengan strategi ini, Dinas PUPR NTT menegaskan komitmennya dalam mendukung target swasembada pangan di wilayah timur Indonesia, sekaligus menciptakan fondasi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Sumber : Target Swasembada Beras 2026, NTT Fokus Intensifikasi dan Ekstensifikasi Lahan – Victory News